Cerdas Dari Media Dan Cerdas Bermedia
Saat
ini orang-orang yang memiliki kecerdasan majemuk tak terelakkan memiliki akses
terhadap media. Mereka membaca buku atau koran, mendengarkan radio, menonton
televisi, atau media massa lainnya. Namun, tidak ada jaminan bahwa menjadi
cerdas juga memiliki kecerdasan bermedia (media literacy).
Perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi membawa kemudahan bagi siapa pun memelajari
ilmu dan pengetahuan dari media massa. Media seperti perpustakaan yang koleksi
bacaannya dan visualnya dapat dibawa pulang ke rumah. Tak heran jika kita dapat
membangun kecerdasan lewat akses terhadap media. Misalnya, seorang anak yang
belum masuk sekolah di Jakarta dapat menguasai bahasa Inggris tanpa diketahui
orangtuanya! Selidik punya selidik, sang anak yang istimewa ini sering menonton
film Barat di televisi. Ia cerdas berkat televisi.
Menganggap
media sebagai sumber informasi yang bermanfaat semata-mata dapat menjerumuskan
manusia ke kubangan yang mereduksi kualitas hidup. Tak dapat dimungkiri bahwa
banyak produk media tidak sesuai dengan nilai-nilai sosietal yang hendak
dibangun, misalnya ajakan kepada gaya hidup hedonis, pornografi dan pornoaksi,
agresivitas, bullying, politicking, dan konstruksi lain dengan agenda
tersembunyi. Banyak pihak melakukan persuasi kepada khalayak melalui tayangan
yang “cantik” di media, tetapi sebetulnya punya niat yang kurang baik.
Iklan-iklan yang mengundang decak kagum berserakan, tetapi sebetulnya mengajak
kita untuk merokok.
Di
sisi lain, menganggap media sebagai hal yang harus disingkirkan juga
menghilangkan peluang untuk kita mengasah kecerdasan majemuk (multiple
intelligences). Howard Gardner (1999), mengemukakan definisi kecerdasan yakni
suatu potensi biopsikologis untuk memproses informasi yang dapat diaktifkan
dalam suatu latar kultural untuk memecahkan masalah atau menciptakan
produk-produk yang merupakan nilai dalam suatu kultur. Jelaslah bahwa
kecerdasan dapat diasah melalui media. Sehingga menafikan media merupakan
tindakan yang tidak bijaksana.
Melihat kenyataan bahwa media memiliki dua sisi yang berlawanan itu mencuatkan masalah, bagaimanakah kita menyikapi dan menyiasati realitas media agar kita mampu mengoptimalkan peran media dalam menumbuh-kembangkan kecerdasan kita?
Melihat kenyataan bahwa media memiliki dua sisi yang berlawanan itu mencuatkan masalah, bagaimanakah kita menyikapi dan menyiasati realitas media agar kita mampu mengoptimalkan peran media dalam menumbuh-kembangkan kecerdasan kita?
Kecerdasan bermedia
Ketersediaan media yang ada di mana-mana (omnipresent), kuasa media yang berpotensi mengubah sikap, kepercayaan nilai-nilai, dan perilaku-perilaku (omnipotent) berkombinasi dengan kecenderungan masyarakat mengonsumsi bermacam-macam media (omnivorous) menumbuhkan budaya media di dalam masyarakat. Sehingga, interaksi masyarakat dan media tak terelakkan lagi. Sekalipun individu berusaha menolak dan menghindarkan diri dari media, ia tetap tak luput dari bidikan media. Karena, orang-orang kepada siapa ia berinteraksi juga mengonsumsi media. Dengan demikian, kecerdasan bermedia menjadi keniscayaan bagi setiap individu. Kecerdasan bermedia (media literacy) adalah suatu kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan menghasilkan komunikasi dalam berbagai bentuk melalui media.
Ketersediaan media yang ada di mana-mana (omnipresent), kuasa media yang berpotensi mengubah sikap, kepercayaan nilai-nilai, dan perilaku-perilaku (omnipotent) berkombinasi dengan kecenderungan masyarakat mengonsumsi bermacam-macam media (omnivorous) menumbuhkan budaya media di dalam masyarakat. Sehingga, interaksi masyarakat dan media tak terelakkan lagi. Sekalipun individu berusaha menolak dan menghindarkan diri dari media, ia tetap tak luput dari bidikan media. Karena, orang-orang kepada siapa ia berinteraksi juga mengonsumsi media. Dengan demikian, kecerdasan bermedia menjadi keniscayaan bagi setiap individu. Kecerdasan bermedia (media literacy) adalah suatu kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan menghasilkan komunikasi dalam berbagai bentuk melalui media.
Dengan
kecerdasan bermedia, individu mampu mengelola pesan di media demi membekali
diri menghadapi kenyataan hidup sehari-hari. Pada dasarnya kita menghadapi dua
realitas dalam hidup kita, yakni realitas dalam dunia nyata dan realitas di
media (Potter, Media Literacy, 2001). Dunia nyata adalah tempat di mana kita
melakukan kontak langsung dengan orang-orang lain, lokasi, dan peristiwa.
Sebagian besar dari kita merasa bahwa dunia nyata ini amat terbatas, sehingga
kita tidak dapat mengambil semua pengalaman dan informasi. Dalam rangka
memperoleh pengalaman-pengalaman dan informasi tersebut, kita melakukan
penjelajahan melalui dunia media.
Di situlah letak permasalahannya. Realitas di media, karena tidak alami, amat rentan terhadap distorsi. Karena pesan-pesan di media dikonstruksi, pesan-pesan itu merupakan representasi dari realitas yang diboncengi nilai-nilai dan sudut pandang, dan masing-masing bentuk media menggunakan seperangkat aturan yang unik untuk mengonstruksi pesan-pesan. Jadi, seseorang harus memiliki suatu kecakapan dalam berhadapan dan mengonsumsi media.
Di situlah letak permasalahannya. Realitas di media, karena tidak alami, amat rentan terhadap distorsi. Karena pesan-pesan di media dikonstruksi, pesan-pesan itu merupakan representasi dari realitas yang diboncengi nilai-nilai dan sudut pandang, dan masing-masing bentuk media menggunakan seperangkat aturan yang unik untuk mengonstruksi pesan-pesan. Jadi, seseorang harus memiliki suatu kecakapan dalam berhadapan dan mengonsumsi media.
Ironisnya,
justru media massa tak pernah memberikan pendidikan media literacy secara
langsung. Sebab, khalayak yang cerdas menagih kualitas manajemen media dan
pengonstruksian pesan yang pada gilirannya meniscayakan institusi media merogoh
kocek lebih dalam. Bila biaya melansir media menjadi mahal, profit akan menjadi
menipis. Tetapi kondisi ini bukan satu-satunya implikasi. Kesiapan sumberdaya
merupakan pokok masalah bagi institusi media yang baru tumbuh di Indonesia.
Dengan begitu, untuk mempersiapkan masyarakat menghadapi era informasi dan
pergaulan antarbangsa diperlukan rekayasa sosial yang bertujuan membentuk
masyarakat yang well-informed tanpa harus menjadi buta media.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar